Sejarah, Budaya, Kesenian, Adat Istiadat Sumatera
Nanggroe Aceh Darussalam
Aceh
(bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa
Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen
atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal
sebagai provinsi Nanggröe Aceh Darussalam memiliki akar budaya bahasa
dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian
daerah bahasa lain seperti bagian selatan mengunakan bahasa Aneuk Jame
sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo
untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur
lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok
etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan
di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa
setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh,
misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di
Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut,
Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil
yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil.
sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat
Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari
sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara
Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang
berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah
Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain
terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil
versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di
negeri Belanda. Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa
asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh:
Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang
merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut sumber
sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar
tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh
Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung
Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir
kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian
berpindah-pindah ke tempat-tempat lain
Budaya
Pengelompokan
budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau
disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara
lain melalui bahasa purba yakni; Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga
ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli. Budaya
Imuem Peut (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang
beragama Hindu. Budaya Tol Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang
datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan
Arab. Budaya Tok Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran Hindu
yang telah memeluk agama Islam. Dalam keseluruhan budaya tersebut
diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureung Aceh yang berarti
orang Aceh.
Musik
Alat Musik Tradisional Aceh
Alat
musik tradisional merupakan sejumlah alat yang digunakan untuk
mengiringi suatu kegiatan adat di suatu wilayah tertentu. Alat musik
tradisional Aceh berarti alat musik yang digunakan untuk acara-cara
tertentu dalam tradisi masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi
sebuah identitas dan kebanggaan ureueng Aceh.
Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya:
Serune Kalee
Serune
Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet
terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh
Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian
ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan
penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.
Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat
lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring)
serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan
serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan
rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian
tradisional.
Gendang (Geundrang)
Gendang
terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat
musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune
kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun
upacara iainnya. Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan
rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang
berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai
bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing,
yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis
seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang
permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini
menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul
(stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya
yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
Canang
Canang
adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok
masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya
“Canang Trieng”, di Gayo disebut “Teganing”, di Tamiang disebut “Kecapi”
dan di Alas disebut dengan “Kecapi Olah”. Alat ini terbuat dari seruas
bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi
lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya.
Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan
Gayo). Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng
terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan
terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan
lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali
sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri. Tali kecapi ada yang 3
buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5
buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar
dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah)
dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan
bambu yang telah diraut tipis. Pada teganing terdapat 3 buah tali yang
paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling
kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama
canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul
talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.
Rapai
Rapai
merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya
dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang
nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu
yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian
atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing
sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur
tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit
ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik
pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan,
perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan
rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh
kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah
Tarian Suku Aceh
Tari Laweut
Tari Likok Pulo
Tari Pho
Tari Ranup Lampuan
Tari Rapai Geleng
Tari Rateb Meuseukat
Tari Ratoh Duek
Tari Seudati
Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
Tari Saman
Tari Bines
Tari Didong
Tari Guel
Tari Munalu
Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Lainnya
Tari Ula-ula Lembing
Tari Mesekat
Kepercayaan
individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau
masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk
arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada
arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh
Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter,
terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang
dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan
Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima
ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau
menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini
biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun
atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada
di sebelah timur.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih
rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya
berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh
harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang
sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau
meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis
ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh
Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan
terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui
Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang
diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap
lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk
panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya
dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat
ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak
menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan.
Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak
menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh
keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat
dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur
ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau
belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya
masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada
di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada
penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah
ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain
sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap
lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial
penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah
penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan
berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut
semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya
biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin
sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya,
jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih
untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan
pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya
lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya
lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya
terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh
yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh
merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan
oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti
juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide
pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami
yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana
alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya
membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok
dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
Rencong
adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila
dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah.
Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun
pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas
lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rencong
memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat
bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat
berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus
seperti pedang. Rencong dimasukkan ke dalam sarung belati yang terbuat
dari kayu, gading, tanduk, atau terkadang logam perak atau emas. Dalam
pembawaan, rencong diselipkan di antara sabuk di depan perut pemakai.
Rencong
memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat
dari gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat suci
dari Alquran agama Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya biasanya
terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan kuningan
atau besi putih sebagai belatinya. Seperti kepercayaan keris dalam
masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh menghubungkan kekuatan
mistik dengan senjata rencong. Rencong masih digunakan dan dipakai
sebagai atribut busana dalam upacara tradisional Aceh. Masyarakat Aceh
mempercayai bahwa bentuk dari rencong mewakili simbol dari basmalah dari
kepercayaan agama Islam. Rencong begitu populer di masyarakat Aceh
sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan "Tanah Rencong".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar